Mengapa Banyak Program Pelatihan Gagal? Ini Kesalahan Fatal yang Sering Diabaikan Perusahaan

Masalahnya Bukan pada Materi, Tapi pada Mindset

Kita selama ini percaya bahwa semakin banyak pelatihan yang diberikan kepada karyawan, maka semakin tinggi pula performa yang akan tercipta.

Namun faktanya:
Sebagian besar program pelatihan di perusahaan gagal menciptakan dampak nyata—bukan karena kontennya kurang baik, tetapi karena desain dan pelaksanaannya tidak relevan dengan realitas bisnis.

Menurut laporan Harvard Business Review (2024), 75% pelatihan korporasi tidak menunjukkan peningkatan performa yang signifikan setelah tiga bulan dijalankan. Sementara itu, studi oleh McKinsey & Company (2023) menunjukkan bahwa hanya 25% eksekutif yang percaya bahwa pelatihan di organisasi mereka menghasilkan perubahan perilaku kerja yang berkelanjutan.

Artinya, kita tidak sedang kekurangan pelatihan—kita sedang kelebihan pelatihan yang tidak efektif.


Data yang Mengungkap Paradoks Pelatihan

Laporan dari Association for Talent Development (ATD, 2024) mencatat bahwa organisasi di seluruh dunia menghabiskan rata-rata USD 1.400 per karyawan per tahun untuk pelatihan. Namun ironisnya, lebih dari 60% dari anggaran tersebut tidak berdampak pada target strategis organisasi.

Di Indonesia, riset Lembaga Manajemen FEB UI (2024) menemukan bahwa hanya 3 dari 10 perusahaan yang memiliki mekanisme evaluasi menyeluruh untuk mengukur hasil pelatihan hingga tingkat perubahan perilaku dan hasil bisnis.

Ini membuktikan satu hal yang mencolok: kita menginvestasikan banyak, tetapi mengukur sangat sedikit.


Mengapa Pandangan Lama Gagal Menjawab Tantangan Hari Ini

Mengapa pelatihan tidak berdampak? Karena kita masih terjebak dalam pendekatan lama, yaitu:

1. Pelatihan sebagai Kegiatan, Bukan Strategi

Banyak program pelatihan dijalankan hanya karena sudah terjadwal secara tahunan. Tidak ada keterkaitan dengan kebutuhan nyata atau tantangan organisasi saat ini.

2. Asumsi bahwa Transfer Pengetahuan = Perubahan Perilaku

Pelatihan terlalu fokus pada pengisian materi, bukan pada penciptaan transformasi.
Karyawan datang, duduk, mendengar—namun tidak diberi ruang dan dukungan untuk mengimplementasikan hasil belajarnya.

3. Minimnya Keterlibatan Atasan Langsung

Menurut Deloitte Insights (2023), karyawan 4 kali lebih mungkin menerapkan hasil pelatihan jika didukung oleh manajer langsungnya. Namun, pelatihan sering kali berjalan tanpa keterlibatan mereka.

4. Tidak Adanya Ukuran Dampak

Kita cepat merasa puas dengan sertifikat dan daftar hadir. Padahal, pelatihan yang berdampak adalah pelatihan yang mengubah cara berpikir, bertindak, dan berkontribusi terhadap kinerja nyata.


Solusi Berbasis Data dan Strategi Baru

Untuk menciptakan program pelatihan yang tidak hanya “mengisi ruang,” tetapi “menggerakkan perubahan,” berikut pendekatan yang direkomendasikan:

1. Mulai dari Masalah Bisnis Nyata

Desain pelatihan harus dimulai dari pertanyaan:

Masalah strategis apa yang ingin diselesaikan?
Contoh: Menurunnya kepuasan pelanggan → Pelatihan service excellence berbasis kasus nyata di frontline.

2. Libatkan Manajer dalam Setiap Fase

Manajer harus dilibatkan sejak proses analisis kebutuhan hingga tindak lanjut setelah pelatihan.
Menurut Gallup (2024), keterlibatan manajer meningkatkan efektivitas pelatihan hingga 32%.

3. Gunakan Evaluasi 4-Level (Kirkpatrick) dan ROI (Phillips)

Evaluasi tidak cukup hanya di Level 1 (reaksi) atau Level 2 (pengetahuan).
Pelatihan yang baik diukur hingga Level 3 (perilaku) dan Level 4 (hasil), bahkan Level 5 (ROI).

4. Ciptakan Lingkungan Pasca-Pelatihan yang Mendukung

Buat sistem coaching, feedback, dan penguatan yang memungkinkan karyawan mempraktikkan apa yang dipelajari.
Learning tidak selesai di kelas—justru baru dimulai dari sana.


Ubah Mindset, Ubah Dampak

Pelatihan bukan tentang berapa banyak modul yang diberikan, melainkan berapa banyak perubahan yang diciptakan.
Dan perubahan itu hanya mungkin terjadi jika pelatihan dirancang bukan sebagai acara, melainkan sebagai bagian dari strategi bisnis.

🔔 Kini saatnya berhenti mengejar jumlah pelatihan. Mulailah mengejar kualitas dampak.
Karena pelatihan yang tidak mengubah perilaku hanya akan jadi rutinitas mahal yang melahirkan harapan semu.


Referensi:

  1. Harvard Business Review. (2024). Why Leadership Training Fails—and What to Do About It.
  2. McKinsey & Company. (2023). How to Make Training Stick: Bridging Learning and Performance.
  3. ATD (Association for Talent Development). (2024). State of the Industry Report.
  4. Deloitte Insights. (2023). Human Capital Trends: Learning That Works.
  5. Gallup. (2024). Building a Culture of Learning that Lasts.
  6. Lembaga Manajemen FEB UI. (2024). Efektivitas Program Pelatihan SDM di Korporasi Indonesia.
  7. Kirkpatrick Partners & ROI Institute. (2023). Evaluating Training for Business Impact.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *