
Pada tahun 2025, salah satu ironi terbesar dalam dunia pengembangan sumber daya manusia adalah ini: meskipun organisasi terus mengucurkan anggaran besar untuk pelatihan, sebagian besar karyawan tetap merasa tidak siap menghadapi perubahan strategis yang dihadapi perusahaannya. Laporan LinkedIn Workplace Learning Report (2024) mencatat bahwa 75% profesional L&D menyatakan bahwa pelatihan mereka berdampak, namun hanya 23% karyawan yang merasa pelatihan tersebut relevan dengan tantangan pekerjaan mereka.
Lebih dari sekadar statistik, ini menunjukkan sebuah blind spot serius dalam strategi L&D: banyak organisasi masih menyamakan “kegiatan pelatihan” dengan “pengembangan kompetensi”, padahal keduanya bukanlah hal yang identik. Aktivitas pelatihan tidak otomatis menghasilkan SDM unggul. Yang dibutuhkan hari ini bukan sekadar metode pelatihan baru, melainkan cara berpikir baru tentang bagaimana kompetensi dibentuk dan dipertahankan di tengah disrupsi yang tak menentu.
Kompetensi yang Tidak Lagi Statis
Kompetensi kerja di era sekarang bersifat cair, tidak tetap. Berdasarkan studi dari Institute for the Future, sebanyak 85% dari pekerjaan tahun 2030 belum diciptakan hari ini. Namun, riset ini sering disalahartikan. Yang sebenarnya krusial bukanlah munculnya “profesi baru”, melainkan pergeseran fungsi dan keahlian dari peran yang sudah ada. Misalnya, manajer SDM hari ini tidak cukup hanya memahami kebijakan ketenagakerjaan, mereka dituntut untuk memahami manajemen perubahan, strategi organisasi, dan narasi bisnis.
Namun anehnya, survei Boston Consulting Group (2024) menunjukkan bahwa 59% pelatihan perusahaan masih mengadopsi pendekatan statis: topik tidak diperbarui, metode tidak dipersonalisasi, dan outcome tidak dikaitkan dengan indikator bisnis nyata.
Organisasi yang terus menggunakan model pelatihan “generic dan tahunan” dalam dunia kerja yang berubah setiap kuartal, sesungguhnya sedang melakukan investasi yang stagnan di pasar kompetensi yang dinamis.
Disonansi Strategis antara HR dan Direksi
Banyak strategi L&D hari ini masih lahir dari pemikiran operasional, bukan strategis. Ini terlihat dari bagaimana peran pengembangan SDM seringkali dipisahkan dari keputusan bisnis utama. Padahal, seharusnya L&D menjadi strategic lever, bukan hanya fungsi pendukung. Menurut Deloitte Human Capital Survey (2024), hanya 28% pemimpin bisnis yang secara aktif melibatkan fungsi L&D dalam perumusan arah strategis organisasi.
Akibatnya, pelatihan seringkali tidak relevan dengan inisiatif perubahan yang sedang dijalankan. Misalnya, ketika organisasi mengadopsi sistem kerja hibrida, program L&D masih fokus pada “soft skill generik” alih-alih membekali pemimpin tim dengan keterampilan koordinasi virtual, pengukuran produktivitas lintas lokasi, atau kemampuan komunikasi lintas zona waktu.
Pelatihan yang Tidak Mengubah Perilaku
Kesalahan lain yang sering terjadi adalah mengukur keberhasilan L&D hanya dari output, bukan outcome. Dalam laporan Brandon Hall Group (2023), 65% organisasi mengukur efektivitas pelatihan berdasarkan tingkat kepuasan peserta dan penyelesaian modul—bukan pada perubahan perilaku, peningkatan kinerja, atau kontribusi terhadap tujuan strategis.
Padahal tujuan utama pelatihan adalah behavioral shift, bukan hanya transfer pengetahuan. Seorang manajer yang mengikuti pelatihan kepemimpinan tidak dinilai dari seberapa baik ia menjawab kuis, tetapi dari seberapa efektif ia membangun tim, mengelola konflik, dan mendorong produktivitas pascapelatihan.
Studi Kasus: DBS Bank dan Lembaga Negara Singapura
Strategi L&D yang efektif tidak muncul dari improvisasi, tetapi dari desain yang terstruktur dan terintegrasi dengan arah organisasi. Salah satu contoh kuat adalah DBS Bank, yang mengembangkan pendekatan GANDALF (Growth mindset, Agility, Network, Data-driven, Automation, Learning, and Future-readiness). Mereka menyisipkan micro-learning dalam proses kerja harian, menyediakan sistem personalized learning dashboard, dan menautkan kemajuan belajar ke insentif serta promosi jabatan.
Hasilnya, DBS mencatat peningkatan produktivitas sebesar 23% dalam dua tahun, dan keberhasilan transformasi budaya kerja menjadi digital-first mindset yang diakui secara global.
Di sektor publik, Pemerintah Singapura telah menjalankan transformasi pembelajaran lewat Public Sector Transformation Framework. Setiap pegawai tidak hanya didorong untuk belajar, tetapi diwajibkan untuk mendokumentasikan pembelajaran tersebut ke dalam sistem pengetahuan nasional. Mekanisme ini menciptakan efek berganda—pengetahuan tidak hanya dimiliki individu, tetapi menjadi aset institusional.
Pilar Pembaruan Strategi L&D 2025
Dalam menghadapi ketidakpastian dan dinamika ekonomi global, organisasi perlu membangun kembali fondasi L&D mereka dengan pendekatan yang progresif. Beberapa prinsip utama untuk membentuk strategi pengembangan SDM unggul di 2025 antara lain:
- L&D sebagai Fungsi Strategis, Bukan Operasional
Libatkan unit pengembangan SDM dalam proses formulasi strategi organisasi sejak awal, bukan setelah keputusan dibuat. - Desain Pembelajaran Berbasis Tantangan Nyata
Tinggalkan pelatihan yang terlepas dari konteks kerja. Gunakan challenge-based learning atau learning in the flow of work agar pelatihan menjawab langsung kebutuhan bisnis. - Integrasi dengan Sistem Manajemen Kinerja
Ukur dampak pelatihan bukan dari kepuasan, tetapi dari kontribusinya terhadap metrik bisnis: peningkatan efektivitas kerja, inovasi, atau kemampuan pemimpin mendorong perubahan. - Skema Pembelajaran Berlapis (Layered Learning)
Rancang program pembelajaran berjenjang sesuai level peran dan kedalaman tantangan, mulai dari awareness, eksperimen, hingga integrasi strategis. - Ciptakan Ekosistem Pembelajaran Berkelanjutan
Bangun sistem kolaboratif lintas divisi dan generasi untuk mendukung berbagi praktik baik dan akumulasi pengetahuan kolektif.
Membangun SDM Unggul Adalah Proyek Kepemimpinan
Learning & Development bukanlah agenda HR semata. Ia adalah agenda kepemimpinan. Tanpa pembelajaran yang relevan dan berkelanjutan, organisasi hanya akan menghasilkan staf yang mahir mengikuti prosedur, tetapi gagap terhadap perubahan.
Di tengah era kompetisi regional dan tekanan pasar yang semakin tinggi, keunggulan tidak lagi ditentukan oleh modal atau teknologi—melainkan oleh kualitas manusia yang mampu berpikir strategis, belajar cepat, dan beradaptasi cerdas. Mereka yang menempatkan strategi pembelajaran sebagai pilar utama bukan hanya akan bertahan, tetapi juga memimpin.
Referensi:
- Brandon Hall Group. (2023). Measuring the Business Impact of Learning
- Deloitte Insights. (2024). 2024 Human Capital Trends: Creating Value Through Human-Centered Leadership
- DBS Bank. (2022). Sustainability & Capability Building Report
- Institute for the Future. (2023). Future Skills Framework
- LinkedIn Learning. (2024). Workplace Learning Report
- McKinsey & Company. (2024). Reimagining Workforce Development
- Public Service Division Singapore. (2023). Public Sector Transformation Progress Report
- Boston Consulting Group. (2024). Rethinking Corporate Learning for Disruption